tentang Bahagia bagi Penglajo Ibu Kota

Pagi ini dua orang sahabat di kantor meninggal dunia. Satu tinggal di Cibubur, satu lagi di Kampung Melayu. Keduanya tak lagi harus merasakan kejamnya Jakarta, yang diantaranya mewujud dalam kondisi lalu lintas dan ancaman banjir. Lalu, apakah mungkin  mengambil kisah hidup mereka untuk melandasi kebijakan pemindahan Ibukota Republik Indonesia?

Perjalanan lebih dari dua jam pergi dan dua jam pulang dari dan ke pusat pemerintahan Republik Indonesia yang dialami sahabat yang menjadi sopir pribadi di Cibubur, rasanya bukan  pengalaman spesifik baginya. Jutaan komuter mungkin mengalami waktu perjalanan yang lebih lama dari beliau.

Banjir sudah menjadi bagian kehidupan bagi warga di beberapa pemukiman di Jakarta, seperti Kampung Melayu di Jakarta Timur dan kawasan Pejaten di Jakarta Selatan. Mau itu banjir kiriman atau orisinil, hasilnya sama. Air berlumpur masuk, terkadang sampai menyentuh lantai dua, atau sampai atap bagi yang rumahnya hanya berlantai satu.

Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota adalah film komedi tahun 1981 yang dibintangi almarhum Ateng dan Iskak. Ada adegan saat Ateng jadi kondektur bus dan penumpang yang bergelantungan didalamnya. Tigapuluh tahun kemudian, busnya sudah ganti merk tapi penumpangnya tetap berjubel saat hari-hari kerja. Derita dari  kondisi jalan yang macet penuh polusi, ancaman banjir, berdesakan di kereta rel listrik dan bus, masih dialami sebagian besar pekerja di ibu kota ini. Jika para penggerak ekonomi tidak merasa bahagia, bagaimana bisa menuntut kinerja ekstra kepada mereka?
Maka, memindahkan ibu kota pemerintahan seharusnya punya tujuan tersirat, yaitu meniadakan derita itu. Dengan kata lain, ibu kota baru dan mantannya selayaknya menjadikan kebahagiaan warganya sebagai tujuan.

Jika banjir, polusi udara dan air, serta kondisi lalu lintas menjadi sumber kecemasan warga ibu kota, maka kotapraja baru minimal menyediakan ruang terbuka hijau yang melimpah, sumber air minum yang memadai, sistem sanitasi yang tertata rapi, dan jejaring transportasi yang menargetkan waktu yang ditempuh komuter maksimal tidak boleh lebih dari 90 menit seperti yang terangkum dalam studi di Amerika ini.

Terlalu sederhana ya? Ya, bahagia itu memang sederhana kok. Terlalu muluk dalam merancang strategi pemindahan ibu kota buktinya membuat rencana tinggal rencana semata. Semua karena melupakan manusia yang mestinya bahagia.

 

 

 

 

 

 

tentang Plastik

Mungkin kita masih ingat, beberapa tahun lalu, saat akan membayar belanjaan di  di  gerai Indomaret, Alfamart, atau Superindo , sang kasir akan memberi tahu bahwa ongkos plastik musti kita bayar, entah itu seratus atau dua ratus Rupiah (hampir bilang perak, tapi nanti dikira gak gaol). Sempat diprotes, lalu kisah ini tenggelam begitu saja. Sekarang pun beberapa gerai ritel atau belanja tetap mengenakan ongkos untuk penggunaan plastik sebagai wadah belanjaan kita.

Sampai suatu hari, seekor ikan paus yang mati terdampar di Wakatobi dengan  kiloan sampah plastik di perutnya. Ironis karena kok ya pas banget menjelang target program Indonesia Bergerak Bebas Sampah 2020 , masalah sampah – dan sampah tak terurai seperti plastik- kembali hadir di tengah hiruk pikuk berita yang lebih populer misalnya tentang pemilihan legislatif dan presiden tahun 2019.

Beberapa kampret dan cebong  waktu kemudian, tak jauh dari ibukota NKRI, ratusan truk selama berhari-hari harus menarik ratusan ton sampah (yang sebagian besar juga plastik). Lima hari, lebih dari 200 truk banyaknya sampah yang dipanen dari Sungai Kali Pisang itu. Nasib yang sama juga dialami Sungai Citarum di awal tahun 2018 lalu. Sebenarnya, sampah plastik adalah mimpi buruk bagi kota-kota besar di Indonesia.

Kembali ke kasir Indomaret. Salah satu alasan untuk pengenaan biaya plastik adalah untuk menekan penggunaan plastik di masyarakat. Bayangkan, lima puluh persen limbah di tempat pembuangan akhir di Indonesia adalah plastik dalam segala manifestasinya. Sampah plastik itu hanya bisa terurai sekitar 50 sampai 100 tahun lamanya. Menunggu plastik terurai itu lebih pedih daripada menunggu  cintanya selama seribu tahun…

Secara sporadis, terlihat ada upaya  adalah kampanye pengurangan konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK), kemudian di tingkat nasional ada upaya untuk mengenakan cukai terhadap plastik itu sendiri – tentu dengan segala pro dan kontranya. Namun upaya sporadis tidak cukup. Limbah plastik memang punya potensi untuk di daur ulang maupun dipergunakan sebagai campuran aspal, misalnya. Namun dari berbagai sumber diketahui bahwa hanya sampai dengan 5 % saja limbah plastik yang benar-benar dapat didaur ulang. Artinya, hanya 500 kilogram plastik yang dapat didaur ulang dari 1  ton sampah plastik. Buanyak yang tak bisa terolah.

Maka, tidak bisa tidak, (limbah) plastik harus diperlakukan sebagai potensi bencana. Sehingga pemakaian plastik harus dikendalikan, plastik yang beredar harus memiliki karakter untuk semaksimal mungkin dapat terurai secara alami, ataupun dapat didaur ulang secara maksimal.

Lalu, apa peran pemerintah selain menerapkan peraturan seperti jenis plastik dan pengenaan cukai plastik?

Coba kita ambil yang sangat sederhana dulu: ada lebih dari empat juta pegawai negeri sipil di Indonesia.  Jika satu orang per minggu minum satu gelas air minum dalam kemasan, maka ada 200 juta gelas plastik terbuang selama setahun. Kampanye membawa botol air minum (kata pakdhe Ganjar, bawa gembes sendiri-sendiri) bisa digalakkan di kantor instansi pemerintah seperti contoh dari bu Susi Pudjiastuti. Jika langkah kecil bisa secara konsisten dilakukan, maka bisa dilanjutkan upaya memperluas komitmen pengurangan penggunaan  plastik di lingkungan institusi pemerintah, baik untuk makanan maupun minuman lalu bisa dikembangkan misalnya ke barang kantor habis pakai.

Nah, jika ada fentung (stick) , tentu harus diseimbangkan dengan wortel (carrot) kan? Contoh (yang lagi-lagi masih sporadis) seperti pembentukan bank sampah dan bayar transport pakai sampah plastik, sebaiknya direplikasi atau diperluas ke berbagai daerah lain. Atau diperluas dengan misalnya membayar parkir mobil/motor (park and ride) dengan sampah plastik. Untuk skala besar, bukan tidak mungkin jika kantor atau perusahaan bisa mendapat fasilitas pengurang pajak jika bisa mengurangi limbah plastiknya. Satu lagi, ini khas untuk Indonesia, isu plastik dan limbah plastik tidak boleh dibiarkan tenggelam oleh isu kontemporer yang setiap minggu bisa silih berganti mampir di benak pemirsa TV dan linimasa media sosial. Harus ada kampiun-kampiun, publik figur  yang selalu siap menaikkan rating isu awareness terhadap limbah plastik.

 

pranala terkait:

tentang cuti bagi bapak

Membaca artikel tentang rencana cuti nan panjang untuk mengasuh anak (dalam hal ini untuk kaum lelaki) menyadarkan saya bahwa mungkin saja asal mula hal-hal yang selama ini selalu saya kritisi tentang penerapan hukum syariah Islam di Indonesia berasal dari salah konsepsi pengasuhan anak. Dan menyadarkan saya bahwa mengasuh anak semenjak bayi cenger adalah salah satu langkah awal yang seharusnya didukung oleh semua fihak.

Tentang penerapan undang-undang berbasis syariah, secara subyektif saya lihat lebih berat kepada perbuatan asusila termasuk mengatur masalah pakaian dan adab bergaul lelaki dan wanita yang bukan muhrim. Nah, sejak awal saya berpandangan bahwa cara penerapan syariat Islam yang melulu difokuskan pada aurat dan seputarnya menjadi bahaya laten bagi keluarga. Peran ayah sebagai kepala rumah tangga telah diambil (paksa?) oleh pemerintah yang menyalurkan sumber dayanya untuk (misalnya) menangkap wanita dengan jilbab yang tidak memenuhi syarat. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi dilemahkan oleh negara (aparat pemerintah daerah) karena seharusnya ranah pribadi dan porsi pendidikan keluarga diambil alih dengan pola kekuasaan yang punya kekuatan memaksa.

Seorang ayah tentu saja (normalnya) tidak punya kekuasaan untuk memenjarakan anak perempuannya yang berjilboob, misalnya. Maka, upaya dari sang ayah adalah melalui jalur pendidikan di keluarganya. Melalui nasehat, berbincang, berdiskusi. Tak menutup kemungkinan pula jika sang ayah memilih melalui perintah dan paksaan. Hal ini berlaku pula apabila si bapak punya anak laki-laki. Berbincang, menasehati, berdiskusi tentang bagaimana adab terhadap lawan jenis, tanpa ancaman sanksi denda atau penjara, apalagi kekerasan.

ps: ini sebuah draft dari tahun 2015, dan saya edit ulang setelah ada berita-berita tentang rencana peraturan cuti bagi suami yang istrinya melahirkan. sebuah refleksi pula terhadap berita tentang tiyang sepuh yang di gugat oleh anak-anaknya. nauzu billahi min zalik.

tentang ledeng umum dan olshop

Jaman kecil, kampung ku punya  gerakan One RW One langgar  (jw: musholla). Satu rukun warga dengan beberapa RT hanya punya satu musholla. Satu kelurahan yang wilayahnya dipisahkan jalan raya Semarang-Solo sepertinya hanya punya 2 masjid. Sebelah timur jalan, masjidnya NU dengan ciri khas sholat tarawih 21 rakaat. Sebelah barat jalan masjid Muhammadiyah, ciri khas tarawih 11 rakaat.  Sekaligus bermotto One RW One PAM, se RW cuma ada satu saluran pipa air minum yang dikenal dengan ledeng umum. Bukan ladang, tapi ledeng. E dibaca seperti merantau. Tapi kami bahagia. Setiap pagi dan sore antri untuk mengisi jerigen (jerry can), yang akan berbaris selang seling dengan kendil dan tong dudhu blek blek dudhu tong. Bolak-balik dari pipa air minum ke rumah untuk mengisi jedhing. Sambil menunggu giliran atau -saat debit sangat kecil- menunggu tempat air penuh, tentu saja paling enak bermain dan bercengkrama dengan teman-teman. Atau minimal makan kersen. Woah…aseek…

pembuat-gerabah-ponorogo-370x278
pembuat kendil tanah liat

Bapak pucung dudu watu dudu gunung
saba mu ing sendhang
pencokkan mu mlambung kere
prapteng wisma si pucung mutah guwaya

Sekarang tahun 2017. Sudah tak perlu lagi bolak-balik berjalan menenteng kendil atau memikul dhuwur mendhem jero blek atau jerigen. Nah, urusan membayar tagihan air minum, selama ini ternyata simbah tetep harus jalan meski sekedar ke Indomaret. Tapi ya tetep aja kasian. Kadangkala sudah sampai kasir, ternyata sistemnya error karena server sedang maintenance seperti server layanan passpor di sebuah negara, atau sekadar mbak kasir  ternyata trainee, salah pencet sampai harus memanggil supervisornya. Maka alangkah senangnya ketika Tokopedia menyediakan layanan pembayaran tagihan air minum AKDP dan AKAP (antar kota antar provinsi, antar kota dalam provinsi). Tinggal ceklik-ceklik, lunaaaas.. Terima kasih Tokopediaaa..

Layanan pembayaran macam-macam tagihan
Layanan pembayaran macam-macam tagihan dari Tokopedia

Perkembangan berbagai e-commerce dari semula hanya  dikenal sekedar onlen shop tempat jualan barang bekas namun menjadi gateway bermacam-macam layanan barang dan jasa tentu saja harus disambut baik karena memberikan berbagai kemudahan bagi para penggunanya. Tidak perlu gelagapan karena bingung cara menarik pendapatan negara dari para pelaku e-commerce ini, cukup pastikan bahwa aktivitas di dalam nya legal dan tidak melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku, maka daya ungkit terhadap aktivitas ekonomi akan membesar. Ilustrasinya ya membayar tagihan air minum di Semarang yang dilakukan di Pulogebang.  Apa saja yang terlibat ?

  1. buka situs Tokopedia di laptop yang dicharge dengan listrik  (bayar listrik ke PT PLN)
  2. laptopnya ada stiker BMN (belanja modal pemerintah pusat)
  3. koneksi internet. kadang pake layanan kabel, kadang beli paket data (jasa komunikasi)
  4. server Tokopedia berkomunikasi dengan server PDAM (capital expenditure  – koneksi internet -capex)
  5. payment gateway tokopedia berkomunikasi dengan bank nya PDAM (jasa keuangan – jasa komunikasi)
  6. dst

Itu belum ngitung segelas kopi yang diminum penulis lho ya. Demikian sekilas ngalor ngidul malam ini… Mudah-mudahan kemudahan demi kemudahan ini bisa makin dirasakan oleh rakyat Indonesia, semakin mudah, aman dan nyaman. Jadi I happy, you happy,semua happy, bahagia. Aamiin

tentang menafikan Negara dan Demokrasi

http://kbbi.web.id/nafi

nafi/na·fi/ 1 n penolakan; penampikan; pengingkaran; 2 a sifat negatif; 3 v tidak mau; tidak menurut;
menafikan/me·na·fi·kan/ v menolak; menampik; mengingkari; menyangkal: kita harus menolak atau ~ iktikad yang meragukan

Hiruk pikuk jelang pilkada/pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2017 telah diajukan hingar bingarnya ke kuartal 4 tahun 2016. Berita hoax dan anti-hoax, teriakan kekerasan dan seruan perdamaian silih berganti mengisi ruang bersama yang sampai saat ini masih disepakati bernama Indonesia. Dugaan saya, ada yang sedang berusaha meniadakan ruang bersama ini untuk mewujudkan ruang gema, sebuah panggung monolog: satu arah, satu versi.

Prasangka ini timbul dari gencarnya protes terhadap setiap kebijakan dari pemerintahan sah hasil Pemilu 2014. Bukan kritik, tapi protes. Bedanya, kritik pasti punya solusi. Sedangkan protes, yaaaa seperti namanya, asal ada kebijakan, pasti ditolak. Asal ada pengumuman tentang sebuah pencapaian, pasti disanggah. Dan semacamnya.

Sampai saya berkesimpulan, yang dituju sebenarnya adalah menafikan praktek demokrasi. Demokrasi dalam artian bahwa ada checks and balances antar lembaga tertinggi dan tinggi negara, demokrasi dalam arti ada perlindungan dari tirani mayoritas sekaligus jaminan tidak akan ada diktator mayoritas. Demokrasi yang menjamin pergantian tampuk kepemimpinan di semua lini akan berjalan secara konstitusional dan damai. Tujuannya adalah agar warga negara capek, kezel, dan jengkel terhadap demokrasi sehingga siap untuk alternatif-alternatif lainnya.

Hmmmm, spoookyyyyy….

ps: kisah yang nyaris serupa disinyalir ada di pilpres Amerika Serikat tahun 2016

https://www.wired.com/2016/11/filter-bubble-destroying-democracy/

tentang sidang pelanggaran lalu lintas

Semua terjadi begitu cepat. Sebuah bukaan di median jalan  seusai pertigaan selepas Lapangan Tembak Senayan itu ternyata hanya untuk kendaraan dari arah berlawanan. Keputusanku untuk berbalik arah disitu, abai terhadap sebuah rambu yang tertutup rimbunnya dedaunan. Di ujung sana telah menanti seorang kekasih polisi berwajah garang. Singkat kata Pak Polisi menukar Surat Izin Mengemudi di dompetku dengan selembar kertas bukti pelanggaran langsung. Tertera waktu sidang 2 September bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). “Bungur“, ujar pak polisi sewaktu kutanya dimana itu.

Screen Shot 2016-09-03 at 6.25.34 AM.png
ikuti panah merah untuk mengakses parkir sepeda motor.

Tanggal 2 September jatuh hari Jumat. Jam 8 pagi aku sudah tiba di lokasi. Di depan sudah banyak tukang parkir dan motor-motor berjajar rapi. Aku memutuskan untuk masuk saja ke gerbang, dan benar saja ada petunjuk parkir motor ke kiri sedangkan parkir mobil ke kanan. Kayak potong bebek angsa ya…

Masuk ke gedung PN Jakpus, aku langsung menangkap kesan bahwa gedung perkantoran ini masih berproses. Minim papan petunjuk di dalam kantor untuk, misalnya tentang informasi bahwa untuk pemegang SIM C harus ke lantai 3. Setiba di lantai 3, ada seorang pemuda duduk di depan ruangan dengan meja penuh kertas berwarna merah dan tumpukan nomor berwarna hijau. Tidak ada keterangan apapun tentangnya, tapi sudah bisa diasumsikan bahwa dialah orangnya. Orang yang bisa memberiku kejelasan nomor antrian.

Kemudian menunggu. Sebuah ruangan dengan kursi berderet dan televisi di dinding yang menayangkan sinetron. Tipikal ruang tunggu di Jakarta. Tak lama kemudian terdengar suara lantang, “nomor satu sampai seratus di sebelaaaah”. Rupanya seorang petugas satpam. Hmm, sudah kuduga. Kantor ini belum menyiapkan PA /public announcer.  Selebihnya sudah tidak menarik lagi. Pukul 9 pagi giliranku tiba, aku harus menerobos kerumunan orang ke sebuah meja. Petugas di meja itu menanyakan namaku, kemudian menyebut nominal yang harus kubayar sebesar Rp 75.000,oo , dan menyerahkan kartu SIM beserta uang kembalian.

Ada sebuah kokot nomor 3 menancap kokoh di kartu SIM ku. Tidak ada kuitansi sebagai bukti bahwa aku sudah membayar denda. Menurut pak Hakim dan pak Jaksa kapan saya akan disidang yang pernah seatap bersama dengan saya di sebuah barak tentara di Ambawara;

Tidak ada pemberian kuitansi pada pembayaran denda tilang, karena besaran denda tilang tersebut sudah disebutkan dalam relaas panggilan sidang yang memuat putusan hakim dan menjadi berkas perkara

Jadi, jangan khawatir ya rekan-rekan dan handai taulan. Uang denda dimaksud akan tetap akan menjadi bagian tak terpisahkan Pendapatan Negara Bukan Pajak. Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya !

tentang e-Ojek dan e-Omprengan

e-Ojek tentu saja merujuk kepada skema semacam Go-jek atau Grabbike, sementara e-Omprengan merujuk kepada Uber, Grabcar atau Go-car dan semacamnya.

Saya memiliki sikap dan pandangan berbeda terhadap dua skema tersebut. Tapi kita lihat dulu deh dasar pemikiran ini. Pada dasarnya, aktivitas perusahaan jasa berbasis aplikasi ini adaah sebuah percaloan terstruktur, legal, berbasis teknologi tinggi. Pernah ke terminal bis Senen atau Tirtonadi? Pulogadung?

Kita yang hidup di kota-kota besar Indonesia era 2000an tentu kenal dengan calo bis di terminal, atau timer di pengkolan-pengkolan. Aktivitas calo atau timer adalah mencarikan penumpang untuk ojek atau angkutan kota di wilayah kerja mereka masing-masing. Calon penumpang ditanya akan kemana, kemudian diarahkan ke bis/angkot/ojek. Makelar/timer/calo mendapat imbalan dari awak angkutan umum.

Nah, pengembang aplikasi Gojek – Grabbike – Uber dan kawan-kawan juga melakukan aktivitas yang sama, yaitu mempertemukan calon pengguna angkutan dengan penyedia jasa angkutan.

Perbedaannya, untuk jenis mobil sudah ada layanan angkutan berupa taksi maupun mobil sewa. Sedangkan untuk sepeda motor, sejauh ini saya belum pernah melihat motor sewa yang sekaligus ada pengendaranya.

Menurut saya, aplikasi untuk angkutan sepeda motor adalah terobosan dari kegagalan birokrasi negeri ini untuk mengatur aktivitas ojek. Maka kita akan temui: pengojek tanpa seragam, tarif nego,perlengkapan motor yang seadanya. Sehingga, sekarang pengguna jasa ojek di kota-kota besar di Indonesia sudah terbiasa dengan pengendara ojek berseragam, memakai helm,tidak ugal-ugalan, sopan, dengan tarif transparan. Bagi anda yang pernah naik ojek di Terminal Jombor Jogja beberapa tahun silam tentunya akan mesam-mesem sendiri ya?

Sedangkan untuk mobil, menurut saya perlu pembenahan menyeluruh. Cikal bakal grabcar yang meniru Uber sepertinya dari aktivitas ride sharing atau car pooling. Kalau ndak tau, itu loh omprengan. Benturan dengan layanan taksi tentu saja langsung terasa karena memang dari sananya, omprengan di Indonesia ya rata-rata ilegal alias plat hitam. Menjadi lucu apabila tujuan mulia dari ride sharing/nebeng/ngompreng, yaitu mengurangi kemacetan karena satu mobil dari wilayah urban bisa memuat beberapa orang dengan tujuan yang sama, malah digantikan dengan satu pengusaha yang mengomprengkan lebih dari 5 unit mobil. Maka saya sepakat apabila pengusaha/individu yang mengikuti skema grabcar atau uber seharusnya mengikuti aturan yang berlaku, minimal harus disamakan dengan pengusaha sewa mobil. Mungkin saja bisa dilakukan pembedaan skema antara individu dengan satu mobil saja dengan pengusaha yang memiliki lebih dari dua mobil.

Taksi? Seharusnya pengusaha taksi yang besar-besar itu membeli saham pengembang aplikasi Uber atau Grab Car di Indonesia,atau memperbolehkan pengemudinya ikut dalam skema aplikasi tersebut. Toh terbukti aplikasi pemesanan yang mereka kembangkan sendiri tidak terlalu berguna.

Layanan angkutan baik sepeda motor maupun mobil yang menggunakan aplikasi  memang pada akhirnya menawarkan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jasanya seperti yang secara jernas dimuat dalam komik ini. Pun berlaku secara timbal balik:  penumpang dan pengemudi bisa mempunyai informasi sama tentang identitas masing-masing, tujuan berikut peta nya, serta tarif yang harus dibayarkan.

Screen Shot 2016-08-24 at 7.01.45 PM

Satu lagi, yang bagi saya lebih menarik, adalah data-data luar biasa hasil pencatatan perjalanan pengguna jasa angkutan berbasis aplikasi. Menurut saya data-data yang sudah dikumpulkan oleh pengembang aplikasi tersebut seharusnya ‘dikelola bersama-sama’ antara perusahaan pengembang dengan instansi terkait, bisa Kementerian Informasi ataupun Kementerian Perhubungan, dan juga Pemerintah Daerah. Maka saya sepakat dengan Menteri Kominfo yang telah menyarankan agar Pemda memanfaatkan data dimaksud untuk kepentingan peningkatan layanan kepada masyarakat.

 

ref:

tentang pasca pembubaran 3 in 1

beberapa kali percakapan ngalor ngidul menyentuh masalah kemacetan di Jakarta yang makin menggila terutama setelah kebijakan pembubaran penghapusan three in one di jalan protokol jantung Jakarta, Sudirman. Eh ya, pada gak bosen ya membaca masalah macet Jakarta?

opini ku : macetnya bukan karena aturan di jalanan, tapi karena orang-orang yang mengeluh macet itu masih tetap mengendarai mobil pribadi untuk pulang pergi ke tengah Jakarta 😀 loh koq motor ga disebut?

jadi gini. yang mengeluh kondisi macet tidak hanya saat di Sudirman, tetapi di ruas tol juga. nah, di tol  ada motor gak? ada, punya petugas yang berwenang atau orang gokil.

mau apapun alasannya, apakah karena gerbang tol yang bikin macet atau jalan tol yang rusak, faktanya tetep saja di jam pergi dan pulang kerja, tol jabodetabek macet. salah motor pasti ! nah mobil-mobil itu menuju satu titik. bisa dibayangin kan?

demikian opini tanpa fakta kuat ini…